Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

1000 Lampion, 1000 Harapan Simbol Imlek Bukan Sekedar Tradisi

seribu-lampion
1000 Lampion, 1000 Harapan Adalah Simbol Hari Raya Imlek Bukan Sekedar Tradisi : Haram Atas Muslim Turut Merayakannya 

Oleh: Ahmad Muthahier (Ketua Sekolah Sastra Bulukumba)


Siapa saja yang menyerupai suatu kaum/ bangsa maka dia termasuk salah seorang dari mereka”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)

Jika kita mendalami agama Khonghucu, khususnya mengenai hari-hari rayanya, akan terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Sebab sebenarnya Imlek adalah bagian integral dari ajaran agama Khonghucu, bukan semata-mata tradisi.

Dalam bukunya Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003) hal. vi-vii, Hendrik Agus Winarso menyebutkan bahwa masyarakat kurang memahami Hari Raya Konfusiani. Kata beliau mencontohkan,”Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap sebagai tradisi orang Tionghoa.” Dengan demikian, pandangan bahwa Imlek adalah sekedar tradisi, yang tidak ada hubungannya dengan agama, menurut penulis buku tersebut, adalah suatu kesalahpahaman (Ibid., hal. v).

Dalam buku yang diberi kata sambutan oleh Ketua MATAKIN tahun 2000 Hs. Tjhie Tjay Ing itu, pada hal. 58-62, Hendrik Agus Winarso telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Hendrik Agus Winarso menerangkan, Tahun Baru Imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri. Momentum ini, kata beliau, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi: “Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5). (Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani. [Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003], hal. 60-61).

Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Beliau mengatakan: “Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan dan keimanan.” (ibid.,hal. 61).

Maka tidaklah benar pendapat yang menyebutkan bahwa Imlek hanya sekedar tradisi orang Tionghoa, atau Imlek bukan perayaan agama. Yang benar, Imlek justru adalah bagian ajaran agama Khonghucu, bukan sekedar tradisi.

Lampion, simbol harapan dan kebahagiaan
Keberadaan lampion tidak dapat dipisahkan dari tradisi perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Lampion menjadi semacam atribut budaya yang menandai peralihan tahun dalam penanggalan Tionghoa. Imlek kurang terasa meriah tanpa kehadiran lampion yang menghiasi sudut-sudut jalan, kelenteng, dan rumah-rumah warga peranakan Tionghoa.

Menurut sejarah, diperkirakan tradisi memasang lampion sudah ada di daratan Cina sejak era Dinasti Xi Han, sekitar abad ke-3 masehi. Munculnya lampion hampir bersamaan dengan dikenalnya tehnik pembuatan kertas. Lampion pada masa-masa awal memang diduga telah menggunakan bahan kertas, selain juga kulit hewan dan kain. Lampion mulai diidentikkan sebagai simbol perayaan Tahun Baru dalam penanggalan Tionghoa pada masa Dinasti Ming.

Pendar cahaya merah dari lampion memiliki makna filosofis tersendiri. Nyala merah lampion menjadi simbol pengharapan bahwa di tahun yang akan datang diwarnai dengan keberuntungan, rezeki, dan kebahagiaan. Legenda klasik juga menggambarkan lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan dengan raksasa bernama Nian. Memasang lampion di tiap rumah juga dipercaya menghindarkan penghuninya dari ancaman kejahatan.

Bentuk lampion yang konvensional adalah bulat dengan rangka bambu. Tetapi seiring perkembangan zaman, muncul pula bentuk lampion yang semakin bervariasi. Salah satunya adalah lampion yang berangka logam dan dapat difungsikan sebagai lampu meja, atau lampion yang berbentuk bunga teratai yang kuncup. Selain bentuk teratai tersebut, masih banyak kreasi baru dari lampion yang membuat perayaan Imlek menjadi semakin semarak.

Pandangan Islam mengenai lampion harapan
Harapan sangat erat ikatannya dengan keyakinan. Berharap, dengan kata dasar harap dan ditambah imbuhan ber- yang terbentuk menjadi sebuah kata kerja. Yakni kita bekerja dengan akal dan hati kita untuk menggantungkan harapan yang kita miliki kepada Sang Pencipta agar apa yang kita harapkan dapat terwujud. Selain itu Ia menyakini bahwa ada Zat yang berkuasa atas apa yang kita harapkan yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan, misalnya Iskhaq mengharapkan lulus Ujian mengemudi, tetapi tidak ada usaha dari seorang Iskhaq untuk belajar mengemudi, Bagaimana mungkin Iskhaq lulus dalam ujian mengemudi.

Harapan merupakan bagian dari fitrah manusia yang tidak mungkin ditinggalkan oleh setiap manusia. Orang yang tidak mempunyai suatu harapan pada hakekatnya adalah manusia yang mati, mengingat harapan merupakan titik awal manusia untuk selalu berkembang menuju kehidupan yang lebih baik.

Islam sendiri menganjurkan manusia untuk selalu berharap, namun dalam islam yang dimaksud berharap yaitu berharap pada kemurahan Allah SWT, mengingat Allah SWT adalah tuhan yang maha kuasa atas segalanya.

Allah SWT berfirman dalam Al Quran: “Dan hanya kepada Tuhanmulah (Allah SWT) hendaknya kamu berharap”. (Qs Al Insyirah: 8)

Berdasarkan firman Allah SWT di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Islam menganjurkan manusia untuk selalu berharap pada Allah SWT. Allah memerintahkan kita agar hanya kepada Allah saja hendaknya kita berharap. Oleh karena itu Imam Baihaqi menyebutkan dalam kitab beliau “Syu’ab Al Iman” bahwa berharap pada Allah merupakan cabang iman ke 12. Jadi kalau kita tidak berharap pada Allah atau sedikit harapan kita pada Allah berarti tidak sempurna imannya. Kalau kita tidak berharap pada Allah berarti ada dua masalah:
Pertama, kita akan berdosa karena berharap pada Allah merupakan perintah Allah,seperti yang tertera pada firman Allah diatas: “dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS Al Insyirah 8)".
Kedua, kita akan terpentok dalam hidup, sering putus asa, dam kehilangan solusi karena tidak ada yang dianggap bisa menyelesaikan kasus atau memberikan solusi.

Allah SWT kembali berfirman dalam Al Quran: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 218).

Firman Allah diatas kembali memberitahukan pada kita bahwa islam menganjurkan umat muslim untuk senantiasa berharap akan rahmat Allah.


Sumber:http://ahmadmuthahier.blogspot.com/2015/10/1000-lampion-1000-harapan-adalah-simbol.html
Baca Lengkap....

Sekilas Tentang Perpustakaan Arsip dan Daerah Sulsel

Tidak jauh dari perbatasan Gowa-Makassar tepatnya di Jl. Sultan Alauddin Makassar, berdiri gedung berlantai dua di atas lahan seluas 3000 m2. Bangunannya sendiri berukuran 2.204 m2 yang terdiri dari beberapa ruangan, dengan halaman lumayan luas yang digunakan untuk ruang parkir. Gedung tersebut terletak di sebelah kiri dari arah Gowa, tepatnya di depan Universitas Muhammadiyah Makassar. Gedung tersebut merupakan gedung Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan atau lebih dikenal Perpustakaan Wilayah Sulsel. Namun siapa sangka perjalanan Badan Perpustakaan danArsip Daerah Sulawesi Selatan(Sulsel) penuh dengan tantangan untuk bisa berdiri seperti sekarang ini.

“Perpustakaan Wilayah Sulsel ini mempunyai sejarah yang panjang. Pada mulanya hanya merupakan taman baca. Dimana buku koleksinya merupakan kumpulan dari koleksi Perpustakaan Negara Indonesia Timur (NTI),” ujar Syahaid Rasak, Kepala Sub Deposit dan Kelembagaan Perpustakaan Wilayah Sulsel.

Namun saat itu, beruntung pada tahun 1950 seorang tokoh sastrawan di Makassar bernama Y.E Tatengkeng berhasil menyelamatkan buku-buku dari perpustakaan NTI. Saat itu, Bangsa Indonesia masih dalam suasana perang dalam suasana perang mempertahankan Negara Kesetuan RI. Beliaulah yang memimpin Perpustakaan Negara yang pertama pada saat itu di samping itu Tatengkeng juga menjabat sebagai Kepala Kantor Kebudayaan yang berada di Makassar.

Berkat perjuangan dan usaha yang tak kenal lelah dan menyerah Y.E. Tatengkeng, tahun 1956 keluarlah Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia, sehingga resmilah perpustakaan ini dengan nama Perpustakaan Negara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perpustakaan yang berkedudukan di Makassar ini memilih lokasi di Benteng Ujung Pandang (sekarang benteng Roterdam). Pusat literatur ini berfungsi sebagai perpustakaan umum untuk wilayah provinsi dan sekitarnya. Selain itu lembaga ini juga berperan untuk mendorong dan memajukan perpustakaan rakyat setempat. Juga menjadi wadah yang memberikan petunjuk khusus bagi pemerintah provinsi tentang peraturan, keputusan-keputusan, dan pedoman-pedoman serta pengumuman resmi yang menyediakan Lembaran Negara (LN), Tambahan Lembaran Negara (TLN), Berita Negara (BN), Tambahan Berita Negara (TBN), Lembaran Daerah (LD) dan buku-buku dan bacaan lain yang dibutuhkan dan dapat dipergunakan instansi dan kantor pemerintahan.

Pada tahun 1961 Perpustakaan Negara tersebut pindah ke Jl. Jenderal Sudirman Makassar. Gedung perpustakaan ini dibangun atas bantuan Gubernur Sulsel yang saat itu dijabat Andi Pangeran Pettarani. Saat itu, perpustakaan negara berdiri langsung di bawah pimpinan kepala biro perpustakaan. Dan pada tahun 1997 Perpustakaan Daerah Sulsel berubah menjadi Perpustakaan Nasional Provinsi Sulsel dengan tipe A dan esolan IIA.

Tanggal 1 Agustus 1985 Kantor Perpustakaan Negara Provinsi Sulsel Departemen Kebudayaan pindah ke Jalan Sultan Alauddin Makassar. Bangunan baru tersebut dibuat lebih mewah dari bangunan sebelumnya di Jalan Jendral Sudirman.

Ketika era otonomi daerah, munculnya undang-undang nomor 22 tahun 1997, tentang otonomi daerah, maka Perpustakaan Nasional Prov. Sulsel diambil alih oleh pemerintah daerah Provinsi Sulsel. Dan pada tahun 2001 menjadi Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah yang bertanggung jwab langsung kepada Gubernur Sulsel sesuai peraturan Nomor 30 tahun 2001. Dengan adanya aturan tersebut, maka Perpustakaan Wilayah Sulsel mempunyai kedudukan dan status yang kuat.

Dari berbagai tahap pergantian nama Perpustakaan Prov. Sulsel, mulai dari Perpustakaan Negara yang dikepalai oleh Y. E Tatengkeng menjadi Badan Arsip Perpustakaan Negara hingga menjadi Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulsel , juga diiringi dengan beberapa kali mengalami pergantian pimpinan, dan kini dikepalai oleh Drs. Ama Saing.

Perjalanan panjang penuh tantangan itulah yang membuat Perpustakaan Daerah Sulsel masih tetap berdiri kokoh hingga sekarang ini. Untuk mewujudkan visinya, yakni menjadikan Perpustakaan Daerah sebagai wahana terciptanya masyarakat pembelajar Sulsel, maka semua unit kerja melaksanakan misi meningkatkan pengelolaan perpustakaan, meningkatkan dan menciptakan SDM yang profesional dalam bidang perpustakaan. Selain itu perpustakaan juga dituntut untuk meningkatkan pembangunan sarana daan prasarana perpustakaan, meningkatkan kerjasama di bidang perpustakaan, meningkatkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi. Juga untuk membina, mengembangkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan kearsipan dalam rangka tertib administrasi.


Sumber: ACCA. Majalah Perpustakaan Arsip dan Daerah Sulsel. Edisi 02/2012

Majalah Arsip Sulsel

Baca Lengkap....

Pasang Ri Kajang sebagai Sumber Inspirasi Penulisan Karya Sastra

Oleh: Andhika Daeng Mammangka, S.S

Sekelumit Dunia Sastra
Adalah hal yang menarik mencermati dunia sastra belakangan ini di Indonesia dan dunia. Betapa tidak, sastra di berbagai jenis karya sepertinya telah menjadi jalan lain selain agama untuk menawarkan nilai dan kearifan dalam menjalani kehidupan sebagai ummat manusia. Jika agama masih tampak tercurigai dengan agama lain dalam menyampaikan kebenaran, justru sastra tampaknya dapat dapat menembus batas agama, bangsa ataupun komunitas masyarakat tertentu. Kita bisa menyimak pesan (sastra/teks) kemanusiaan dan perdamaian Mahatma Gandhi atau Bunda Teresa yang keduanya dari India.

Mahatma Gandhi adalah sosok pria beragama Hindu yang memimpin rakyat India untuk merdeka dari kekuasaan Inggris pada tahun 1947, “Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.” Sementara itu, Bunda Teresa yang seorang missionaris katolik , memiliki keluhuran jiwa dengan menjadi pemerhati penderita lepra, HIV, orang miskin, sekarat dan sebagainya. Salah satu pesannya yang menarik adalah “Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang; tapi bagaimanapun, teruslah berbuat baik.”(google.com)

Untuk karya sastra, kita bisa menyimak/memetik nilai dari karya Anton Chekov dan Vadlimir Nabokov dari Rusia, atau A.A. Navis danPramudya Ananta Toer dari Indonesia. Karya-karya mereka umumnya memotret kehidupan sosialnya dan memberikan inspirasi positif bagi pembacanya.

Di sisi lain, fenomena pasar buku sastra di Indonesia belakangan ini juga tampak mengalami kebangkitan. Ini dapat dilihat dengan munculnya buku-buku sastra yang merajai pasaran buku di toko buku. Walaupun masih beranjak perlahan namun sudah mulai cukup terasa kebangkitannya. Beberapa tahun silam, ada beberapa buku yang penjualannya menunjukkan angka yang luar biasa, seperti pada Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, konon hasil penjualannya mencapai angka milyaran rupiah. Bahkan, kesuksesannya membuat kisah dalam novel tersebut diangkat ke layar lebar.

Fenomena ini mendorong banyak orang untuk kemudian juga mulai menulis sebab faktanya, menulis bisa menjadi pekerjaan yang menyenangkan dan memberikan keuntungan ekonomi. Namun, harus disadari bahwa buku yang baik secara sastrawi belum tentu harus menjadi best seller atau laku di pasaran. Buku-buku yang memiliki kandungan nilai sastra yang bagus biasanya malah kurang laku di pasaran. Bukan berarti buku itu buruk akan tetapi, buku yang demikian itu membutuhkan kecerdasan tertentu untuk memahami isinya sementara masyarakat kita di Indonesia bukanlah pembaca yang cermat dan cerdas. Umumnya mereka membaca untuk entertain dan hanya membaca bacaan ringan di masa senggang.

Sastra Sebagai Jendela Budaya
Maman S Mahayana, seorang pemuka sastra di Indonesia di dalam sebuah artikelnya menyebutkan bahwa Sastra sesungguhnya merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, ketika ia memutuskan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra sebenarnya dapat digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah komunitas.(mahayana-mahadewa.com). Pada konteks ke Bulukumbaan, khususnya Kajang sebagai komunitas budaya tentunya akan ada pertanyaan, apakah ada karya sastra yang terapresiasi dengan baik oleh masyarakat luar Kajang sebagai jendela untuk mengetahui Kajang? Pertanyaan ini bukan untuk dijawab, faktanya; sangat minim karya “orang” Kajang yang terapreasiasi sebagai karya sastra di Indonesia atau bahkan dunia.

Dunia sastra secara umum dikenal dengan dua jenis yakni Sastra Lisan dan Sastra Tulisan. Sastra lisan yang umum mencakup dengan kata-kata bijak/pesan filosofis/nyanyian/mantera/dongeng/fabel dan sebagainya, yang umumnya untuk konteks Bulukumba, hal tersebut pernah hidup dengan baik dalam jiwa masyarakat sebelum gempuran media elektronik yang membuat masyarakat kian berjarak dengan kearifan “sastra”nya. Padahal, di balik itu semua, ada banyak nilai kearifan dalam kehidupan yang dapat membuat kita menjadi lebih humanis dan religius dalam mengarungi kehidupan ini.

Sastra tulisan yang secara umum meliputi puisi, cerpen, novelet, novel, roman, naskah drama/film, essay dan sebagainya adalah alat ekspresi, media penyampaian gagasan/ide, sikap, opini, kisah, argumentasi dan sebagainya, Kesemuanya adalah alat atau media untuk merespons fakta-fakta kehidupan (dari catatan Sutardji Calzoum Bahri, Satu Tulisan Pendek dari Lima Puisi Panjang, google.com).

Kajang dan Sastra Lisan Dulu dan Sekarang
pasang ri kajang
Dalam sebuah kesempatan kunjungan ke Tanah Toa, Ammatoa mengatakan bahwa sebelum semua yang ada di dunia ini dituliskan, semuanya hanya terlisankan atau tersebut dalam “pasang/pesan”. Atau lebih tepatnya disebut Pasang Ri Kajang (berisi pedoman hidup yang diyakini Masyarakat Adat Kajang untuk dunia dan akhirat pra dan pasca Islam masuk), Setelahnyalah baru semua dituliskan. Hal ini menandakan, untuk konteks “Masyarakat Kajang”, sastra lisan hidup dan lestari dalam masyarakat Kajang secara luas. Nanti pada fase moderen atau manusia mengenal tulisan/huruf latin, sastra lisan itu kemudian memudar, tersimpan dalam ingatan tetua masayarakat Kajang. Kecuali dalam Masyarakat Adat Kajang, Sastra Lisan tersebut masih lestari dengan baik dan terwariskan dan tertransformasikan dari generasi ke generasi. Faktanya, masih banyak hal yang belum berubah di dalam kawasan Adat Kajang, terutama tradisi masyarakatnya yang harmonis dengan alam semesta, pola hidup yang sederhana, jujur dan bersahaja.

Pasang Ri Kajang sebagai Sumber Inspirasi Penulisan Karya Sastra
Pasang Ri Kajang (Pesan di Kajang)sebagai sebuah pedoman hidup dunia dan akhirat Masyarakat Adat Kajang tentunya memiliki kedalaman nilai yang luhur sebab hingga kini, pesan tersebut masih tetap diyakini kebenarannya dan dipatuhi ritualitasnya dalam masyarakat adat. Kemampuan mengeliminasi dan bertahan pada modernitas menjadikannya sebagai komunitas yang memiliki identitas dan otentitas yang kontras dengan masyarakat luar Kajang. Bukan hanya karena berpakaiannya yang serba hitam, namun sikap mereka dan menjalani kehidupan yang arif dan bijaksana.

Sebagai pedoman hidup, Pasang Ri Kajang tentunyalah sangat luas dan banyak. Namun, beberapa contoh dapat dikemukakan dalam tulisan ini sebagai bagian dari upaya penggalian nilai Pasang Ri Kajang dalam penulisan karya sastra (hasil penelitian pribadi penulis);

Appa’ Passala Pasang Ri Kajang, Erang Kasalamakang Lino na Ahere
(empat pesan keselamatan dunia dan akhirat)
Buakkang Mata/Menjaga Pandangan Mata
Pansuluq Saqra/Menjaga Tutur Kata
Palampa Lima/Menjaga Gerak Tangan
Angkaq Bangkeng/Menjaga Langkah Kaki

(hasil penelitian pribadi penulis 2006);

Mencermati salah satu Pasang Ri Kajang ini tentunya akan membawa kita pada dialog bathin yang panjang dan mendalam. Dari dialog bathin tersebut, jika kita ingin memberikan apresiasi dan memberikan respons dengan menggunakan media “karya sastra” sebagai penyampai, empat pesan di atas dapat menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dan dapat menjadi energi yang akan terus membuat imajinasi kita tumbuh dan merespons fakta-fakta sosial, religi, sikap ataupun fakta-fakta diri pribadi kita.

Jika ditarik ke dalam salah satu fakta “sosial dan politik” maka, ada berapa banyak karya sastra yang bisa lahir dari fenomena sosial politik di Indonesia atas keingkaran-keingkaran (kedustaan) maupun hal yang bersifat positif (bohong/ingkar) atas fakta kekuasaan, birokrasi maupun kemiskinan yang terus tumbuh tak terbendung dan birokrat dan politisi seolah mengeksploitasi/membiarkan dan dalam pidato-pidato mereka menyebutkan bahwa semua baik-baik saja.

Ada banyak ruang kemungkinan yang bisa terjadi dan menarik untuk diolah sebagai sebuah karya sastra dari fenomena “Kajang”, misalnya; realitas cinta pemuda “adat Kajang” yang akan menemukan benturan budaya jika salah satu di antaranya bukan orang Kajang dan memiliki pandangan hidup moderen, Fakta kehidupan Masyarakat Adat Kajang yang menolak Modernitas “listrik dan mesin”, fakta larangan menebang pohon sembarangan, fakta Hukum Adat kajang yang masih eksis, Ritualitas, dan sebagainya, yang tentunya sangat originil dan dapat menjadi hal menarik jika ditransformasikan ke dalam karya sastra.

Hal lain dalam Masyarakat Kajang, luar dan dalam batayya (kawasan adat), sastra lisan masih bisa diperoleh dari penutur yang jumlahnya tak banyak lagi. Umumnya hanya tetua masyarakat kajang, misalnya kisah atau Legenda Tombong Ratu di Laikang Kajang, Legenda Kehidupan Paratiwi atau dunia bawah tanah, Kisah pengislaman Amma Toa pertama di Kajang, Legenda Raksasa, Kisah Pembumihangusan Kajang oleh Belanda tahun 1825, Kisah perseteruan Raja Kajang dengan Raja Bantaeng, dan sebagainya yang kesemuanya memiliki nilai kesastraan yang tinggi dan hingga hari ini, belum pernah tereksplorasi secara massif dan dijadikan sebuah karya satra dalam bentuk puisi, novel, novelet, roman ataupun cerpen.

Hal-hal yang di atas ini adalah sisi lain dari Masyarakat Adat kajang yang dapat menjadi semangat yang luar biasa bagi Masayarakat kajang yang ingin mencoba melakukan “gerakan sastra” dengan menjadikan hal tersebut sebagai titik inti dari pusarannya dalam berkarya.

Peluang dan Tantangan Global
Inggris dan William Shakespeare yang mengarang Romie dan Juliet ratusan tahun silam telah menjadi bacaan yang telah diterjemahkan ke hampir seluruh bahasa di dunia termasuk Indonesia bahkan telah diangkat ke layar lebar dengan berbagai versi. Nizami dengan kisah Laila Majnun yang dikisahkan hampir seribu tahun silam di timur tengah masih tetap bisa diapresiasi hingga hari ini dengan seluruh nilai kehidupan yang ada di dalamnya. Kedua karya sastra yang mendunia di atas adalah fakta bahwa sebuah karya sastra yang baik bias menembus batas geografis, bahasa, budaya bahkan peperangan yang dahsyat sekalipun. Kemampuan sastra tersebut menembus batas membuktikan bahwa ada nilai positif yang dicari pembaca/manusia di balik karya tersebut.

Sangat mungkin bahwa kelak, ada kisah yang berasal dari sebuah kampung kecil yang bernama Kajang dengan segala keunikan, kesahajaan dan kearifannya, yang akan memaksa seluruh bangsa di dunia untuk menerjemahkan karya tentang Kajang tersebut ke dalam bahasa mereka.

Keunikan Kajang dari berbagai sisi adalah peluang untuk menjadi “sesuatu yang mendunia/mengglobal” dan tantangannya adalah apakah lembaga pendidikan di Indonesia secara umum telah menempatkan sastra dan pesastra sebagai bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Jawabannya ada di dalam hati dan pikiran kita semua, dengan kembali memberikan pertanyaan sederhana, apakah kita tahu sejarah-sejarah kecil di sekeliling kita dan apakah kita kenal seseorang yang menulis dengan serius tentang “Kajang” atau sejarah-sejarah kecil itu?

Karya Sastra Timur tengah, India, Rusia, Jawa dan sebagainya telah kita nikmati di sini. Pernahkah kita bertanya bahwa apakah “Sastra Kajang” pernah dipreasiasi di negeri mereka? Jika belum, sekaranglah saat yang tepat untuk menggempur negeri dan masyarakat mereka dengan media sosial tanpa batas itu! INTERNET. Kita memiliki peluang. Tantangannya adalah apakah kita menguasai media internet itu?” kita masih terlalu sibuk dengan urusan perut dan belajar main Facebook, mereka telah sampai di bulan dan planet Jupiter.


Kota Bulukumba, 9 Mey 2014
Makalah untuk kegiatan Bahasa Jerman SMA 5 Kajang Bulukumba 2014


Bersumber dari: http://kelongpajaga.blogspot.com/2014/05/pasang-ri-kajang-sebagai-sumber.html
Baca Lengkap....

Resensi Novel “Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)” karya Marah Rusli

Sampul Sitti Nurbaya Asli Judul Buku : Siti Nurbaya ( Kasih Tak Sampai )
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 1992
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : 271 halaman
Tokoh : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaiman, dan Sultan Mahmud.


Sinopsis
Ibunya meninggal saat Siti Nurbaya masih kanak-kanak, maka bisa dikatakan itulah titik awal penderitaan hidupnya. Sejak saat itu hingga dewasa dan mengerti cinta ia hanya hidup bersama Baginda Sulaiman, ayah yang sangat disayanginya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang terkemuka di kota Padang. Sebagian modal usahanya merupakan uang pinjaman dari seorang rentenir bernama Datuk Maringgih.

Pada mulanya usaha perdagangan Baginda Sulaiman mendapat kemajuan pesat. Hal itu tidak dikehendaki oleh rentenir seperti Datuk Maringgih. Maka untuk melampiaskan keserakahannya Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya membakar semua kios milik Baginda Sulaiman. Dengan demikian hancurlah usaha Baginda Sulaiman. Ia jatuh miskin dan tak sanggup membayar hutang-hutangnya pada Datuk Maringgih. Dan inilah kesempatan yang dinanti-nantikannya. Datuk Maringgih mendesak Baginda Sulaiman yang sudah tak berdaya agar melunasi semua hutangnya. Boleh hutang tersebut dapat dianggap lunas, asalkan Baginda Sulaiman mau menyerahkan Siti Nurbaya, puterinya, kepada Datuk Maringgih.

Menghadapi kenyataan seperti itu Baginda Sulaiman yang memang sudah tak sanggup lagi membayar hutang-hutangnya tidak menemukan pilihan lain selain yang ditawarkan oleh Datuk Maringgih.

Siti Nurbaya menangis menghadapi kenyataan bahwa dirinya yang cantik dan muda belia harus menikah dengan Datuk Maringgih yang tua bangka dan berkulit kasar seprti kulit katak. Lebih sedih lagi ketika ia teringat Samsulbahri, kekasihnya yang sedang sekolah di stovia, Jakarta. Sungguh berat memang, namun demi keselamatan dan kebahagiaan ayahandanya ia mau mengorbankan kehormatan dirinya dengan.

Samsulbahri yang berada di Jakata mengetahui peristiwa yang terjadi di desanya, terlebih karena Siti Nurbaya mengirimkan surat yang menceritakan tentang nasib yang dialami keluarganya. Pada suatu hari ketika Samsulbahri dalam liburan kembali ke Padang, ia dapat bertemu empat mata dengan Siti Nurbaya yang telah resmi menjadi istri Datuk Maringgih. Pertemuan itu diketahui oleh Datuk Maringgih sehingga terjadi keributan. Teriakan Siti Nurbaya terdengar oleh ayahnya yang tengah terbaring karena sakit keras. Baginda Sulaiman berusaha bangkit, tetapi akhirnya jatuh tersungkur dan menghembuskan nafas terakhir.

Mendengar itu, ayah Samsulbahri, yaitu Sultan Mahmud yang kebetulan menjadi penghulu kota Padang, malu atas perbuatan anaknya. Sehingga Samsulbahri harus kembali ke Jakarta dan ia berjanji untuk tidak kembali lagi kepada keluargannya di Padang. Datuk Maringgih juga tidak tinggal diam, karena Siti Nurbaya diusirnya.

Siti Nurbaya yang mendengar bahwa kekasihnya diusir orang tuanya, timbul niatnya untuk pergi menyusul Samsulbahri ke Jakarta. Tetapi niatnya itu diketahui oleh kaki tangan Datuk Maringih. Karena itu dengan siasat dan fitnahnya, Datuk Maringgih dengan bantuan kaki tangannya dapat memaksa Siti Nurbaya kembali dengan perantaraan polisi.

Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal dunia karena memakan lemang beracun yang sengaja diberikan oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Kematian Siti Nurbaya itu terdengar oleh Samsulbahri sehingga ia menjadi putus asa dan mencoba melakukan bunuh diri. Akan tetapi mujurlah karena ia tak meninggal. Sejak saat itu Samsulbahri tidak meneruskan sekolahnya dan memasuki dinas militer.

Sepuluh tahun kemudian, dikisahkan dikota Padang sering terjadi huru-hara dan tindak kejahatan akibat ulah Datuk Maringgih dan orang-orangnya. Samsulbahri yang telah berpangkat Letnan dikirim untuk melakukan pengamanan. Samsulbahri yang mengubah namanya menjadi Letnan Mas segera menyerbu kota Padang. Ketika bertemu dengan Datuk Maringgih dalam suatu keributan tanpa berpikir panjang lagi Samsulbahri menembaknya. Datuk Maringgih jatuh tersungkur, namun sebelum tewas ia sempat membacok kepala Samsulbahri dengan parangnya.

Samsulbahri alias Letnan Mas segera dilarikan ke rumah sakit. Pada saat-saat terakhir menjelang ajalnya, ia meminta dipertemukan dengan ayahandanya. Tetapi ajal lebih dulu merenggut sebelum Samsulbahri sempat bertemu dengan orangtuanya.

Sekilas tentang penulis dan bukunya

Sampul Sitti Nurbaya Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahu 1922. Buku yang berjudul Siti Nurbaya ini berhasil menempatkan diri sebagai puncak roman di antara roman-roman lain yang dianggap orang sebagai puncak roman dalam Sastra Indonesia Modern. Penilaian itu tidak didasarkan pada temanya, tetapi berdasarkan pemakaian bahasa dan gayanya yang tersendiri. Buku ini menggunakan bahasa melayu. Oleh karena itu, orang melayu pasti akan lebih mudah membaca dan segera mengerti isinya. Karena terkenalnya sampai-sampai zaman itu dinamai zaman Siti Nurbaya. Roman karyanya ini berhasil pula merebut hadiah tahunan dalam bidang sastra, yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969.

Dalam karyanya berjudul Siti Nurbaya, Marah Rusli ingin merombak adat yang berlaku pada masa itu dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Pelaku utamanya pada roman ini adalah Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan Datuk Maringgih.

Membaca roman Siti Nurbaya kita diajak mengikuti liku-liku kehidupan masyarakat Padang pada masa itu, khususnya kisah cinta yang tak kunjung padam dari sepasang anak manusia, Siti Nurbaya dan Samsulbahri.

Pengarang, dalam hal ini Marah Rusli sebagai pemuda terpelajar memiliki pemikiran jauh lebih maju daripada masyarakat disekitarnya. Ia telah mengenal tata cara hidup dan kebudayaan asing yang sedikit banyak sangat berpengaruh terhadap jiwanya. Dari dasar itu timbul gejolak pemberontak ingin menerobos adapt lama yang mengungkung dengan ketat dan dianggap oleh Marah Rusli sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi.

Marah Rusli

Marah Rusli ini lahir di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889 dan meninggal di Bandung pada tanggal 17 Januari 1968. Pengarang ini telah menamatkan SD di Padang pada tahun 1904 dan menamatkan Sekolah Raja (Hoofdenscool) di Bukit Tinggi pada tahun 1910. Setelah tamat Sekolah Dokter Hewan di Bogor pada tahun 1915, ia diangkat menjadi adjunct dokter hewan di Sumbawa Besar, kemudian (1916) menjabat Kepala perhewanan di Bima. Tahun 1918 pindah menjadi kepala peternakan hewan kecil di Bandung, kemudian mengepalai daerah perhewanan di Cirebon. Tahun 1919 menjabat kepala daerah perhewanan di Blitar, tahun 1920 menjadi asisten leraar Kedokteran Hewan Bogor, tahun 1921 menjadi dokter hewan di Jakarta, tahun 1925 pindah ke Tapanuli. Sejak tahun 1929 sampai datang revolusi 1945 menjadi dokter hewan kotapraja Semarang. Selama revolusi tinggal di Solo, kemudian bekerja pada ALRI di Tegal. Tahun 1948 diangkat menjadi lektor di Fakultas Dokter Hewan Klaten dan dalam tahun 1950 kembali ke Semarang. Sejak tahun 1951 menjalani masa pensiun di Bogor, tetapi masih tetap menyumbangkan tenaganya di Balai Penelitian Ternak Bogor sampai akhir hayatnya.

Di samping profesinya sebagai dokter hewan, Marah Rusli terkenal pula sebagai sastrawan karena romannya yang berjudul Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai).

Nilai di dalamnya:
  • Pengarang mengajak kita untuk memetik beberapa nilai moral dari romannya yang terkenal ini, antara lain:
  • Bila asmara melanda jiwa seseorang maka luasnya samudra tak akan mampu menghalangi jalannya cinta. Demikianlah cinta yang murni tak akan padam sampai mati.
  • Demi orang-orang yang dicintainya seorang wanita bersedia mengorbankan apa saja meskipun ia tahu pengorbanannya dapat merugikan dirinya sendiri. Lebih-lebih pengorbanan tersebut demi orang tuanya.
  • Bagaimanapun juga praktek lintah darat merupakan sumber malapetaka bagi kehidupan keluarga.
  • Menjadi orang tua hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan hanya untuk menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan yang tak terhingga.
  • Dan kebenaran sesungguhnya di atas segala-galanya.
  • Akhir dari segala kehidupan adalah mati, tetapi mati jangan dijadikan akhir dari persoalan hidup.
Baca Lengkap....

“Wala Suji” dalam Falsafah Masyarakat Bugis-Makassar

MAKASSAR. Jika pernah mengunjungi acara adat atau perkawinan kerabat yang bersuku Bugis-Makassar, tentu kita akan melihat suatu baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai atau yang memiliki hajatan.

Wala Suji bentuknya seperti gapura tetapi menyerupai bagian depan rumah panggung suku Bugis-Makassar. Atapnya berbentuk segitiga dan disangga rangkaian anyaman bambu. Sebagai penghias, tak lupa diberi janur kuning.

wala suji

Bentuk Wala Suji ini hampir tidak berbeda bagi Suku Bugis-Makassar. Wala Suji atau baruga bermotif segi empat belah ketupat ini sudah tidak asing lagi dalam khasanah peradaban masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat pada setiap pembuatan baruga, serta pallawa atau pagar pada acara perkawinan atau pesta adat.

Sebenarnya konsep segi empat pada Wala Suji ini, berpangkal pada kebudayaan orang Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapa’ eppaki wala suji (segi empat belah ketupat). Menurut almarhum Prof. DR. Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia tengah. Dengan pandangan ini, masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan.

Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan. Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu ‘sa’ yang berarti seua, artinya tunggal atau esa.
Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapa’ eppaki. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia.

Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).

Pergeseran fungsi Wala Suji yang terbuat dari anyaman bambu, dewasa ini khususnya di Sulawesi Selatan, bukan suatu hal yang langka lagi. Ini karena Wala Suji bisa dilihat meski tidak ada acara pengantinan atau pesta adat.

Fungsi dan kegunaan Wala Suji ini, awalnya sebagai pallawa atau pagar dan baruga atau pintu gerbang. Namun karena adanya aspek modernisasi yang menimbulkan pergolakan pada nilai kebudayaan daerah, akhirnya Wala Suji yang dikenal selama ini telah mengalami penyimpangan fungsi.

Hal itu terlihat pada penempatan hasil karya ini tidak sesuai fungsi dan kegunaannya lagi. Idealnya, Wala Suji hanya dipakai pada acara pernikahan atau pesta adat bagi warga Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh adat setempat.

Namun kini, Wala Suji telah menjadi gerbang permanen bagi rumah-rumah keturunan bangsawan lokal. Bahkan pada beberapa keluarga yang pernah melakukan pesta perkawinan, membiarkan Wala Suji itu tetap berdiri kokoh dalam waktu lama. Padahal semestinya, maksimal digunakan hingga 40 hari pasca-perkawinan atau pesta adat. Keengganan merobohkan Wala Suji pasca-upacara perkawinan itu, selain merasa sayang menghancurkan bangunan mini itu karena harganya dapat mencapai Rp 500.000.

Selain itu, Wala Suji dapat difungsikan sebagai tempat bernaung dari panasnya matahari atau derasnya hujan pada musim penghujan. Sebagian orang yang memiliki Wala Suji ini, justru membuat bangku panjang dari bambu atau kayu di sisi kiri dan kanan bagian bawah Wala Suji, sebagai tempat bersantai.

Bahkan sejumlah restoran atau hotel-hotel berbintang di Makassar, juga memasang Wala Suji di lokasi prasmanan atau tempat sajian hidangan dengan alasan menambahkan estetika dekorasi ruangan, sekaligus memperkenalkan salah satu karya seni budaya masyarakat Sulawesi Selatan.
Baca Lengkap....